Mudik dan Trilyunan Rupiah Mengalir

Tradisi mudik sudah menjadi bagian kehidupan penduduk kota besar, termasuk Jakarta. Tahun ini menurut Kementrian Perhubungan memperkirakan jumlah pemudik 17,6 juta orang; jika separuhnya membawa uang ke kampung halaman Rp1 juta saja, maka uang yang masuk kampung halaman lebih dari Rp8.000.000.000.000,-


Tetapi menurut Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS),Yusuf Wibisono dalam tulisan  ekonomi, di Tribunews, jumlah pemudik mencapai 32,2 juta dan perputaran uangnya berdasarkan hasil riset di daerah aglomerasi perputaran uang  mencapai 184 trilyun. Hal itu katanya,  tidak menjadikan pemerataan uang di daerah, katanya hanya bersifat konsumtif dan waktunya hanya 2 minggu saja. Selain itu temuannya dalam riset menunjukkan bahwa mudik itu mahalnya di perjalanan sebab uang yang dibelanjakan di daerah hanya 60 juta selebihnya habis di perjalanan. (tribunnews.com)

Namun di balik itu semua, menurut hemat penulis tetap  saja moment mudik ini akan membawa sesuatu yang besar dari kota ke kampung dan akan terus meningkat dari tahun ke tahun, dan peredaran Inilah yang menjadi berkah bagi orang-orang yang berada di kampung;  masing-masing keluarga ikut merasakan limpahan rezeki dari anggota keluarganya yang merantau. Uang yang terkumpul selama satu tahun di perantauan dihabiskan pada saat lebaran di kampung merupakan hal yang lumrah saja; bahkan saat pulang balik ke kota terkadang tidak lagi memiliki ongkos dikarenakan uangnya habis untuk berbagi dan berbelanja.

Siapa yang diuntungkan dari tradisi lebaran ini?
Jelas banyak pihak yang diuntungkan, mulai dari pebisnis jasa transportasi hingga para pedagang asongan dan pedagang-pedagang yang ada di kampung halaman. Peredaran uang yang jumlahnya triyunan ini akan menguntungkan orang-orang daerah meskipun waktunya tidak lama. Hal ini membuktikan bahwa moment mudik merupakan moment penggerakan ekonomi. Apalagi jika gerakan sharing rupiah dari kampung ini bisa diberdayakan, niscaya trilyunan uang yang masuk ke derah ini berpotensi untuk pembangunan daerah sehingga lebih maju dan berdampak sosial lebih tinggi.

Perpindahan uang dari kota ke kampung akan terus terjadi. Hal ini tentu saja menjadi sinyal positif di mana sharing ekonomi yang terjadi memberikan dampak positif bagi kehidupan desa. Sayangnya, seperti penelitian Ideas, katanya tidak berdampak di daerah-daerah tujuan mudik yang konsentrasinya hanya di Jaawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Menurut saya Ideas kurang jeli melihat perubahan desa yang penduduknya banyak sekali yang merantau ke Jakarta. Kehidupan desa memang tidak berubah namun perubahan signifikan terjadi pada bangunan rumah penduduk berubah drastis. Kita bisa melihat kampung di Kuningan, di mana para perantau yang mengais rejekinya di Jakarta rumanya mewah seperti orang kaya di Jakarta. Di Tegal lain lagi, para pedagang warteg yang di Jakarta rumahnya seperti rumah penghuni Pondok Indah. Di kampung penulis di Cirebon, rumah penduduk pinggir kali Cimanis, Astanajapura, tepatnya di kampung Bulak, 20 tahun masih kumuh, namun kini rumah mentereng mudah dijumpai.

Keberhasilan ini terus menjadi inspirasi bagi para penduduk desa yang ingin merubah nasibnya. Generasi berikutnya akan meniru anggota keluarganya yang sudah dianggap mapan kehidupannya. Bekerja atau berdagang di kota besar memang menjanjikan, namun tidak sedikit yang gagal di tengah jalan dan tidak sanggup lagi meneruskankehidupannya di kampung. Namun angka ini tidak sebanding dengan mereka yang sudah dianggap sukses di Jakarta misalnya.

Agar lebih bermanfaat sharing rupiah di kampung halaman maka tips berikut ini dapat dilakukan dengan mudah.
1. Membawa uang dari kota ke kampung tanpa membawa oleh-oleh barang
2. Membeli oleh-oleh begitu sampai di kampung
3. Saat hendak pulang balik, dan bermaksud membawa oleh-leh maka belilah di kampung saja
4. Dengan begitu maka dipastikan uang beredar di kampung halaman.

No comments:

Post a Comment